Minggu, 29 November 2009

Putu Suro. . .

Putu suro, sekilas kalau melihat mirip dengan Eyang Suro... Pendiri SH. Dari kumis yang lebat melintang, tentunya sesuai dengan karakteristik beliau ini. Tegas, Keras, Sangar tapi sebenarnya orangnya sangat ramah dan santun. Sebagai sesepuh Ranting, Mas Juwadi menjadi tokoh sentral didalam menentukan arah dari perkembangan " SH Terate " di Gowa. Pengesahan di Ngawi pada tahun 2001, tetapi sudah mengenal SH sejak tahun 1985. Merantau di Gowa, dan langsung membuka tempat latihan di Sub Pandang2 di tahun 2002 - sekarang. Untuk komunitas Jawa di Gowa, tidak ada yang tidak mengenal Mas Ju, atau yang biasa dipanggil " KYAI NE Banten ". Dengan prinsip, " Alus kenek, kasar ora nolak. Yen alus, kulo luwih alus. Ning yen kasar, aku luwih biso kasar soko kowe ". Menjadikan mas Ju cukup disegani dikalangan orang Jawa di Kabupaten Gowa dan sekitarnya.

Resi Galesong . . .



Resi ..... Demikian biasa Pak Ketua ini dipanggil. Nama aslinya Mas Setuwanto berasal dari Sambung Macan Sragen Jawa Tengah. Pengesahan pertama dari Ranting Gowa di tahun 2000 atau bahasa gaulnya Warga Milenium di Cabang 064 Makassar. Pengabdiannya dari tahun ke tahun tidak semakin luntur, tapi malah memotivasi untuk menjadi pelopor didalam membimbing adik - adik warga baru didalam mengembangkan " SH Terate " di bumi Gowa. Sebagai Ketua Ranting, menjadikannya mudah didalam menyampaikan program - program kerja yang tentunya didukung oleh seluruh Warga yang ada di Ranting Gowa. Kemampuan olah beladirinya tidak diragukan lagi, baik di ranting maupun di tingkat Cabang 064 Makassar. Sampai saat ini beliau selalu mendapat tugas penjurian di KRIPEN dan SAMBUNG, kalau ada kegiatan TEST CABANG. Beliau berprinsip, " wong ki kudu weweh, yen ngarep ngarep awehing soko Gusti ".

Rabu, 25 November 2009

Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal). Bahasa Jawa di atas memiliki arti sebagai berikut: Sesungguhnya tidak ada apa-apa, sejak masih awang-uwung (suwung, alam hampa) belum ada suatu apapun, yang ada pertama kali adalah Ingsun, tidak ada Tuhan kecuali Aku (Ingsun) sejatinya hidup yang lebih suci, mewakili pancaran dzat, sifat, asma dan afngal-Ku (Ingsun).Kalau menilik dari kata-kata tersebut, maka kita akan bisa mawas diri tentang keberadaan kita sebagai manusia. Kita ini siapa, darimana dan nantinya bakal ke mana. Ketika terlahir ke alam dunia, manusia masih berbentuk bayi dan tidak membawa satu lembar kain pun. Saat menjadi bayi itu, kita yang semula tidak perlu disuapi ketika masih berada di dalam perut ibu, sudah mulai diperkenalkan dengan kejamnya dunia. Dimana kita harus menangis meronta-ronta untuk bisa mendapatkan makanan dengan cara disuapi ibu. Namun ketika kita menginjak pada masa kanak-kanak, tidak ada hal-hal terindah yang menghiasi kehidupan ini selain bermain dan bermain bersama teman-teman sebaya. Bahkan ketika melihat sungai, kali ataupun empang yang ada di sekitar rumah kita, maka kita yang masih kanak-kanak ketika itu melihat keindahan yang luar biasa. Kita melihat anugerah GUSTI ALLAH yang Maha Besar lewat alam semesta yang diciptakan. Maka, jangan heran ketika kita melihat gunung, pantai dan lainnya, pandangan kanak-kanak kita akan mengagumi keindahan alam Sang Pencipta itu.Waktu pun beranjak dan terus berlalu. Akhirnya masa kanak-kanak kita berganti dengan masa remaja. Di masa remaja inilah kita sudah mulai menerima unsur-unsur positif dan negatif dari lingkungan. Tragisnya, di masa ini kita masih belum bisa memilah-milah mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya ditelan mentah-mentah. Di masa inilah pembentukkan jiwa terjadi. Kalau yang dominan unsur negatif, maka seseorang di masa depannya akan diwarnai dengan perilaku yang negatif. Tetapi kalau unsur positif yang banyak masuk, maka kehidupan orang tersebut di masa depan akan menjadi lebih terang dan terarah. Ketika kita mulai menginjak masa dewasa dan sudah memutuskan untuk menikah, maka keindahan alam semesta ciptaan GUSTI ALLAH yang ketika masa kanak-kanak kita saksikan, akhirnya musnah. Yang ada adalah berganti dengan pandangan duit, duit dan duit. Kita disibukkan untuk mencari harta dunia. Semua yang kita lakukan semata-mata adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Harta dunia itulah yang mulai menghalang-halangi pandangan kita terhadap keberadaan GUSTI ALLAH. Buktinya, walaupun kita shalat, meditasi, tafakur ataupun semedi, kadangkala yang tampak di depan kita hanyalah persoalan-persoalan yang berkutat pada duit. Pertanyaan besar yang muncul, DULU KITA INI SIAPA, PUNYA APA DAN SEKARANG KITA PUNYA APA? Jawabannya mudah, dulu kita ini bayi, kanak-kanak, remaja tidak punya apa-apa. Tetapi ketika dewasa dan berumahtangga, kita "DITITIPI" oleh GUSTI ALLAH dengan anak, istri dan harta benda. Tragisnya, kita malah bangga dengan harta benda yang kita peroleh. "Kekayaan ini adalah hasil kerja kerasku selama ini," ujar kita meski dalam hati. Tidak, sekali-kali tidak. Harta benda, anak, istri dan apapun yang kita miliki di dunia ini bukanlah milik kita. Itu sekedar "TITIPAN" Sang Kuasa. Kalau Anda merasa memiliki semuanya, mampukah Anda menghalang-halangi bahaya kebakaran yang akan melumat habis harta benda Anda? Mampukah kita menghalang-halangi nyawa anak kita yang akan dipanggil oleh GUSTI ALLAH? Bahkan kita sendiri tidak mampu menolak ketika nyawa kita hendak dicabut dari jasmani ini oleh Tuhan.

Selasa, 24 November 2009

Belajar Kesabaran

Kalau hendak belajar ilmu kesabaran, maka kita hendaknya belajar pada Bumi yang kita injak setiap harinya ini. Bayangkan, bumi ini tidak pernah mengeluh meskipun diinjak-injak ratusan juta manusia. Bumi juga tidak pernah tersinggung meskipun diludahi, dikencingi bahkan menjadi tempat buangan kotoran manusia. Ia akan dengan sabar menerima semuanya. Kesabaran apalagi yang bisa mengalahkan bumi ciptaan GUSTI ALLAH itu? Tapi kalau manusia berbuat semena-mena terhadap bumi, maka Sang PENCIPTA akan marah dan bumi bakal menggulung dan menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri.

Jadi pembicara itu sulit, tapi jauh lebih sulit jadi pendengar yang baik

Di kepala kita teranugerahkan semua berpasangan, kecuali mulut yang satu. Maka jadilah kita pendengar yang baik, pengamat yang bijak, pemikir yang arif dan amat hemat bertutur kata untuk menjaga lisan kita. Maka seluruh hidup akan seimbang oleh Karunia Nya. Dan sesungguhnya kekecewaan kita bukanlah karena kenyataan yang sering tidak sesuai dengan harapan, tetapi karena kita sering mengharap segala hal yang tak nyata. Maka khusyu’lah berdoa agar asa kita menjelma menjadi Nyata. Salam hamemayu hayuning bawono.


HAMEMAYU HAYUNING BAWONO

Aywa pegat ngudia ronging budyayu,
margane suka basuki,dimen luwar kang kinayun,
kalis ing panggawe sisip,ingkang taberi prihatos.


(Aja sira leren-leren anggone golek laku kang becik(slamet),
dalane seneng lan slamet, supaya bisa kelakon sing digayuh.
Kalis saka tindak sing ora bener. Sing sregep prihatin.)